[Prolog] TWENTY

google image


Aku akan bercerita tentang kehidupan seorang gadis yang baru akan memulai umur dua puluh tahunnya. Gadis dengan angan-angan yang menjulang tinggi ke langit. Gadis dengan pemikiran-pemikiran gilanya. Gadis yang nampak ceria setiap harinya. Gadis yang berbeda dari teman-temannya yang lain. Gadis dengan rasa ketakutan yang bahkan tak pernah ia tunjukan. Dengan teman-temannya, ia menjalani kehidupan awal perkuliahan. Bersama, tertawa bahagia. Setiap harinya ia habiskan dengan perbincangan panjang. Setidaknya beberapa hari sebelumnya. Hingga pada akhirnya, ia mencoba sesuatu pemikiran yang secara tiba-tiba terbesit dalam otaknya. Pemikiran yang bahkan ia tak tahu itu benar ataukah salah. Pemikiran yang bahkan ia juga tak meyakininya. Dan ketika pemikiran itu terlaksana, ia menyadari sesuatu hal lain.



Lima puluh tujuh.


Lima puluh delapan.


Lima puluh sembilan.


Enam puluh.



“Welcome to my birthday party” gadis itu bergumam di atas tempat tidurnya, berguling-guling di bawah selimut tebalnya. Ia menatap langit-langit kamarnya. Melihat bintang-bintang mainan yang ia tempelkan disana. Menyala, berwarna hijau. Kini ia beralih melihat lubang langit-langit yang sengaja di buat dan langsung melihatkan betapa indahnya bulan berwarna orange menyala sempurna menembus kaca, memberikan sinarnya pada kamar si gadis yang gelap.

“Good bye.. my teens” ia tersenyum, memejamkan matanya, menarik nafas perlahan dan tertidur setelahnya.


“FAY.....”

Gadis itu membuka mata. Pertama yang ia lihat adalah sinar matahari pagi yang menerpanya. “Sial!” ia mengumpat sesaat sebelum menyibakkan selimutnya. Melemparkan selimut kuning itu menyingkir dari tubuhnya. Ia berdiri seketika, membuka pintu kamarnya dan berjalan menuruni tangga secepat mungkin. Ia telat shalat subuh. Ia mengambil air wudhu, melapkan dengan handuk dan segera bergegas menjalankan kewajiban.

Ini jam lima. Gadis itu tahu setelah melihat jam dinding kuning di ruang tengah rumahnya. Lalu ia menghembuskan nafas lega. Setidaknya ia tak begitu terlambat menjalankan shalat kan? Pikirnya sesaat. Ia yakin tadi yang meneriaki namanya adalah ayahnya, tentu saja ayahnya yang meneriakinya sekencang itu. Setiap hari, setelah beliau sekembalinya dari masjid. Rutinitas yang tak pernah terlewatkan di setiap pagi. Seperti alarm. Gadis itu menghembuskan nafasnya panjang.

Ia berbalik dan menemukan sebuah kalender putih yang besar. Hari ini. Ia menarik sebelah bibirnya. Terkekeh pada dirinya sendiri. Pagi dua puluh tahunnya yang pertama.




Perkuliahannya akan dimulai sore nanti. Kini gadis itu berkutat dengan ponselnya. Meski didepannya televisi tengah menyala dengan volume suara sedang, ia menghiraukannya. Gadis itu tertawa sesaat seakan menemukan sesuatu yang begitu membuatnya geli. Lalu ia diam kembali.

Umurnya dua puluh tahun.

Gadis itu berhenti tersenyum. Ia mengembungkan pipinya. Benar, gadis itu sekarang resmi berumur dua puluh tahun. Dimana umur yang menjadi patokan.

“Huft.....”gadis itu mendesah pelan.

Baginya tuntutan menjadi dewasa lebih mengerikan daripada tuntutan pekerjaan. Setidaknya, karena ia belum pernah mengalami keduanya. Siapa yang percaya jika gadis ini dewasa? Meski dilakukan survai sekalipun, persentase yang mempercayainya tidak dewasa akan lebih banyak. Tapi siapa yang tahu? Gadis ini seperti bom atau setidaknya petasan berskala besar yang mengejutkan. Jika kalian ingin tahu saja. Tak ada yang tahu kapan bom atau petasan itu akan meledak. Namun sekalinya meledak.

BOOM...

Mengejutkan.

                                                                        ***

Ia pulang tepat saat malam mulai larut. Atas tumpangan dosennya yang baik hati juga tentunya. Kalaupun tidak karena beliau maka ia kini masih didalam bis, menikmati perjalanan malam yang berdesakan.

Umurnya dua puluh tahun.

Gadis itu mengacak rambutnya. Pikiran itu lagi yang terbesit dalam otaknya. Mengapa?

Kepalanya menunduk. Setelah menunaikan shalat maghrib, gadis itu lebih memilih tiduran sembari kembali berpikir. Dulu ia sempat mempelajari mata kuliah yang membahas klasifikasi umur umat manusia. Dan demi apapun, ia akan benar-benar membenci mata kuliah yang memberikannya nilai B di kertas IPnya itu.

Dua puluh. Mengingatkannya pada satu kata. Dewasa.

Kini, gadis itu menyadarinya. Ia berada di masa transisi. Dimana ia akan menciptakan dirinya sendiri. Menciptakan? Mengapa harus dengan kata tersebut? Apakah selama ini ia bukanlah dirinya? Lalu siapakah ia sebenarnya? Dan siapakah dirinya sekarang?

Gadis itu kembali mengacak rambutnya. Menggeleng-gelengkan kepala.

Ini sangatlah menyebalkan bahkan untuk orang yang hanya melihatnya sekalipun. Gadis tersebut bahkan tak mempercayai mengapa ia begitu sangat berpikir serius tentang menjadi dewasa. Padahal di sekelilingnya pun masih banyak gadis-gadis di atas umurnya yang bahkan jika dilihat masih terlihat kekanak-kanakan juga.

Jika ada yang berpikir gadis ini terlalu berpikir yang tak penting. Apa menjadi dewasa tak perlu dipikirkan? Hanya mengikuti alur kehidupan saja lalu jadilah ia dewasa.

Gadis itu memijat pelan tengkuknya. Sebenarnya ada hal lain yang kini ia pikirkan juga. Tentang pertemanan. Gadis tersebut tak yakin, apakah selama ini ia sangat bergantung pada teman-temannya ataukah sebaliknya. Ia tak tahu, bagaimana hidup kuliahnya jika tanpa teman-temannya. Gadis ini ingin mencoba. Hanya...

Apakah gadis ini bisa?

Ia tak yakin kembali.

Menjadi dewasa yang mandiri dan hidup tanpa teman-temannya. Kehidupan yang biasa dan normal sepenuhnya. Ini diluar ekspektasi. Gadis ini terlalu gila. Kenapa kehidupan yang mudah menjadi susah dipikirannya?

Seakan ada perang pemikiran di dalam dirinya sendiri antara sesuatu yang idealis dan realistis saling berbenturan, beradu argument saling membenarkan. Gadis ini butuh sesuatu yang menyegarkan otaknya. Seakan penat dengan rutinitasnya. Ingin mencoba sesuatu yang lain.

                                                                        ***

Senin.

Tak terasa hari benar-benar telah berlalu bagi gadis pemalas di hari senin itu. Sisa-sisa akhir pekan seakan masih membebaninya. Ini menjadikannya lebih malas ketimbang senin-senin lainnya. Menyebalkan.

Gadis yang sering bicara tersebut sudah rapi dengan baju ala anak kuliahan yang biasa ia kenakan. Celana jins, baju lengan panjang, jilbab segi empat dan tentunya jaket jins biru kesayangannya. Ia selalu nyaman dengan berpakaian seperti itu.

Ia mengaup lebar namun segera menutupinya dengan tangan. Ya Tuhan, bahkan pagi masih menyapa, namun rasa kantuknya masih juga terasa.

Kakinya sampai pada gedung fakultasnya. Masih sepi. Ia sama sekali tak menemukan teman-temannya disana. Hebat! Gadis pemalas ini, datang lebih dulu dari teman-temannya. Pencapaian tingkat tinggi yang harus dirayakan di hari senin ini. Ia berjalan menaiki tangga. Lalu berdiri pada pagar lantai atas sembari melihat-lihat orang-orang yang berlalu lalang di bawah.

Dirinya adalah mahasiswa Fakultas Pendidikan dan Seni Bahasa Inggris semester empat di Universitas Garuda, sebuah Universitas negeri baru di kawasan Magelang, tepatnya di daerah Potrobangsan dekat dengan Secaba. Orang-orang lebih sering menyebutnya UNIGAR.

Ia melihat sekelompok orang yang berjalan bersama-sama, sembari tertawa bersama. Ia mengingat dimana ia dan teman-temannya menghabiskan hari-harinya. Lalu setelah itu, ia melihat seseorang berjalan sendirian. Gadis itu memangku dagunya dengan tangan, berpikir. Seandaianya gadis yang katanya lebih suka bicara itu berubah menjadi diam. Apa yang akan dilakukan temannya?

Gadis itu masih saja berpikir hingga pada akhirnya menyadari bahwa satu demi satu temannya datang dan berkumpul dibawah. Namun, sesuatu ada yang mengganjalnya. Mengapa satu orang lain berjalan pada arah yang berbeda? Apakah ada perubahan mata kuliah? Perubahan jam yang tak ia ketahui sebelumnya? Ataukah karena temannya itu sangat pintarnya hingga bahkan tak tahu mata kuliah pagi ini?

Gadis dengan rasa penasaran tersebut akhirnya memutuskan berjalan kebawah. Menyusul teman salah arahnya tersebut. Ia berjalan terus hingga hampir menuju ujung lorong hanya untuk menemui temannya tersebut.

“Kamu sedang tak berniat bercandakan?” tanyanya sedikit berpura-pura skeptis.

Temannya mendongak menatap gadis itu dengan muka super polosnya. “Mata kuliah hari ini apa?”

Gadis itu membuang nafasnya perlahan. Tak menyangka mengapa tebakannya benar meski tebakan yang paling terakhir.

“Kamu yakin tak tahu?”

Temannya hanya tersenyum tak berdosa.

“Baiklah, Ikuti aku, kelas akan dimulai” ucapnya.

Gadis itu, Fay Anandhita. Kembali berpikir apakah dirinya, gadis umur dua puluh tahun, akan selamanya seperti ini? atau... dirinya akan menjadi gadis dua puluh tahun yang lain?






Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKSD

[FF Oneshoot] Really Love You...