[Cerpen] Perempuan Itu…..




Katanya perempuan adalah makhluk lemah.

Katanya perempuan adalah makhluk yang hanya bisa menangis dan merengek.

Katanya lagi perempuan itu……

Cukup!


Rara tidak ingin hanya mendengar katanya lagi. Toh… tidak seratus persen hal itu benar. Rara juga perempuan tapi jarang baginya untuk menangis. Jarang baginya untuk merengek. Jarang baginya untuk meminta pertolongan kecuali jika memang di butuhkan. Lalu? Paham itu seakan hanya angin yang berlalu saja.

“Ukhti Rara Pj1 bagian dekorasi dan dokumen untuk acara bedah buku besokkan?”  Akhi hanif, selaku ketua panitia bedah buku mencoba memastikan.

Rara mengangguk-angguk. “Iya. Memangnya kenapa ya akh?”

“Sendiri bisa? Anggota lainnya kebetulan sekali udah masuk devisi lain atau kalau ukhti Rara nggak bisa, saya bisa bantu mungkin, kita buat saja open recruitment panitia baru khusus hanya untuk acara bedah buku besok, bagaimana ukh?”

Nah loh? Rara bingungkan. Nggak masalah sih kalau cuma jadi Pj untuk dokumentasi. Asal jepret moment-moment penting dan nggak blur. Beres. Kalau dekorasi? Itu artinya Rara harus kerja dua kali. Menentukan konsep dan menjadikan konsep itu nyata. Kalau sendiri bisa?
Rara mendesah. Bismillah…

“Saya usahakan sendiri mungkin bisa, akh”

“Yakin? Berat loh ukh”

“Kan saya belum mencoba”

Akhi Hanif cuma diam, Rara itu akhwat keras kepala. Pokoknya kalau belum melayangkan tanda minta bantuan Rara tidak akan pernah meminta bantuan. Itu sih yang di simpulkan Akhi Hanif selama beberapa kali bekerja sama dengan ukhti Rara dalam tugas dakwah kampus.

“Ya sudah kalau begitu, nanti biar saya bilang ke teman yang lain kalau ada waktu luang bisa bantu ukhti Rara”

Rara cuma bisa mengangguk-angguk setuju.

***

Sayangnya, bedah buku di adakan satu bulan lagi. iya masih sekitar tiga puluh hari dari sekarang atau setidaknya empat mingguan. Tapi di minus sama dua minggu masa ujian plus prepare praktik. Satu bulan untuk acara bedah buku itu kayak berubah jadi satu hari.

Rara mendesah. Kenapa dulu ia menolak tawaran dari akhi Hanif?. Nyesel deh. Kan Rara nggak tahu kalau kejadian kayak gini. Ugh… ikhlas Ra….. Allah nggak bakal ngasih ujian yang nggak mampu di jalankan sama hambanya. Rara pasti bisa.

Pagi ini Rara udah di sekretariatan Rohis. Sebenarnya jadwal hari ini padat merayap. Udah kayak antrian semut. Dari nyelesaiin tugas praktik sampai memastikan alat dekorasi untuk bedah buku udah fix ada.

“Bagaimana ukh? Banner sama bahan dekorasinya udah ada?”

Kepala Rara menoleh ke sumber suara. Itu akhi Hanif. Berdiri di antara garis teritorial ikhwan dan akhwat. “Kalau tidak salah semua udah di sekre2. Tinggal nanti saya dekorasi panggungnya”

“Oh… baiklah kalau gitu saya duluan. Assalamu’alaikum” Akhi Hanif berlalu. Eh?. Nggak nawarin bantuan nih?. Halah… Rara berharap.

Hari ini padahal ada jadwal mentoring. Tapi di jam yang sama Rara udah terlanjur janjian sama abang-abang tukang bikin panggung. Lah terus gimana? Dua kali Rara udah nggak ikut. Kalau di tambah hari ini, jadinya tiga loh.

“Assalamu’alaikum..”

Rara menengok ke pintu masuk. Aduh.. Rara nyengir aja sambil jawab salam. Itu Mbak Delia. Murabbi Rara.

Dengan preut buncitnya yang udah sembilan bulan Mbak Delia berjalan hati-hati masuk ke sekre. Mendekat kearah Rara dan duduk di samping gadis imut itu.

“Yang lain kemana dek? Oya,  nanti dek Rara ikut mentoringkan? Kemarin udah nggak ikut loh”

“Nggak tahu mbak, mungkin baru mau kesini.Saya nggak ikut lagi deh mbak. Hari ini mau ngehubungin abang-abang tukang panggung untuk dekorasi tempat”

Mbak Delia mengangguk-angguk. Ada sedikit kecewa yang terlihat di raut wajahnya.

“Saya pingin deh jadi kayak mbak Delia. Tetep semangat dan bisa cover waktu. Jadi nggak ribet kayak saya gini”

Rara itu akhwat cerdas tapi juga egonya terlalu tinggi untuk meminta bantuan. Terlalu idealis untuk menjadikan dirinya mandiri.

“Memangnya kenapa dek?”

Rara membuang nafas pelan.”Bulan-bulan ini saya rasa kok berat banget mbak, dari jadi Pj dekdok3 terus ujian, praktik juga acara-acara kumpul-kumpul diskusi termasuk mentoring. Semua kayak udah bubar jalan. Kacau”

“Emangnya nggak ada yang bantuin? Biasanyakan acara besar kayak bedah buku ada yang bantuin, dek”

Rara geleng kepala.”Selagi saya bisa cover saya bisa ngelakuin sendiri kok mbak”

“Bisa melakukannya atau ingin menunjukkan bahwa statement di masyarakat tentang perempuan itu salah?”

Skak.

Rara diam. Menatap mbak Delia dalam. Sebagai Murabbi, Mbak Delia tentu paham betul bagaimana Rara. Sejak pertama bertemu Rara, mbak Delia sudah tahu bahwa gadis itu sangat mempunyai ambisi mengubah statement tentang perempuan lemah. Perempuan harus tegas. Perempuan harus bisa apapun. Perempuan juga harus bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki. Bagus?.

Tentu saja. Iya. Tapi Rara memakai cara yang salah. Terlalu idealis.

“Mbak tahu. Dek Rara punya niatan baik, menunjukkan kalau perempuan juga bisa bergerak. Nggak terus-terusan di cap sebagai makhluk yang lemah. Itu baik. Saya yakin dek Rara bisa menunjukkannya. Tapi… saya rasa cara dek Rara terlalu berlebihan”

Rara mengerutkan keningnya. Berlebihan? Berlebihan yang mana?

“Dek Rara nggak lupa dengan pelajaran ilmu pengetahuan sosial tentang hubungan antar manusiakan? Iya. Pelajaran yang mungkin di terima dek Rara sejak masih di sekolah dasar. Manusia itu makhluk sosial. Saling membantu. Islam juga mengajarkan begitu. Muslim yang satu dengan muslim lainnya adalah saudara. Ukhuwah harus tetap dijaga.saling bantu membantu. Bahu membahu”

Rara terdiam. Mencoba menerka kearah mana perbicaraan mbak Delia.

“Ibaratnya Rohis kita ini adalah tubuh manusia. Dan setiap dari kita itu ibarat anggota badan.Nah, ukhuwah adalah sendi-sendi yang menghubungkan setiap anggota badan. Kalau satu sakit, yang lain pasti merasa sakit. Kalau yang satu nggak ada. Pasti tidak akan menjadi sempurna. Iyakan?”
Rara mengangguk.

“Itu sama dek. Dek Rara terlalu bersemangat untuk menjadi perempuan atau akhwat tangguh. Hingga lupa pada lingkungan dek Rara sendiri. Mungkin dek Rara tidak menyadari tapi sebenarnya tanpa sadar dengan cara seperti itu dek Rara sudah menjauhi teman-teman aktivis dakwah lain”

Eh?

Rara tertohok.

***

Rara menjinjitkan kakinya. Masih belum sampai. Padahal Rara udah berdiri di atas kursi plus meja  tambahan. Tapi paku untuk mengkaitkan banner emang tinggi banget. Rara pendek sih.

“Butuh bantuan ukh?”

Rara celingukan ke bawah. Akhi Hanif. Berdiri sekitar lima langkah dari pintu masuk. Di sampingnya udah ada akhi Bayang dan beberapa akhwat lain. Mereka tersenyum kearah Rara. Hiks… pingin nangis. Eh… iya, Rara akhwat tangguh. Nggak jadi nangis deh.
Rara turun dari tingginya kursi dan meja.

“Kalau tidak memberatkan sih boleh” ucap Rara sambil senyum tipis. Akhwat-akhwat lain langsung 
bergerak maju. Bekerja. Juga akhi baying tak tertinggal.

“Lain kali jika butuh bantuan, bilang saja ukh. Meski memang belum mencoba dan mungkin belum diperlukan sekali” Akhi Hanif menunduk di hadapan Rara.

“Iya. Maaf, terimakasih sudah mau membantu”

“Tidak apa-apa. inikan acara kita”

Akhi Hanif berlalu. Iya, Rara sadar. Ia terlalu berambisi. Terlalu idealis. Terlalu ingin menjadi mandiri dan tangguh. Mbak Delia benar. Itu menjauhkan dari aktivis dakwah lain. Merenggangkan ukhuwah.

Tapi…

Tunggu. Tadi di sekretariat sepertinya tidak hanya ada Rara dan mbak Delia saja. Ada Akhi Hanif. Meski di daerah teritorial ikhwan yang hanya di batasi etalase. Apa Akhi Hanif mendengarkan ya?
Aduh.  Tiba-tiba Rara merasa malu…

***


Karena perempuan laksana kaca dan intan kokoh diwaktu yang bersamaan.


Hai..... aku datang dengan cerpen yang nggak biasa aku post disini, sebenarnya ini cepen yang aku ajukan ke rohis kampus cuma kok sampai sekarang belum ada respont,  ya udah  aku postin disini. ...thx.... ^^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[FF Oneshoot] Really Love You...

SKSD