1 : Hello Japan!! [Ana-san]

source : google image

HELLO JAPAN!!!


Bekerja di Jepang?


Dia tidak tahu mengapa ia menangis setelah membaca surat yang pak pos berikan saat tiba dirumahnya dan memberikannya sepucuk surat asing berwarna putih komplit dengan kop di atas amplopnya beratas namakan Adriana Faranisa. Hampir sembilan minggu telah berlalu sejak hari paling menegangkan itu terjadi, tes wawancara.

Ana terduduk dan menitikkan air mata, ketika ibunya yang langsung berlari dari dapur dan berada disisinya serta Ayahnya yang tadi tengah berada di kebun depan rumah datang menghampirinya juga tak mampu berbuat apa-apa, mereka terlalu tak percaya dengan apa yang terjadi.

“Jepang?”

Ana mengangguk masih di dalam tangis harunya.

“Itu jauh Nduk!”  Ibunya mulai terduduk dan mencoba memeluk. Hati ibu mana yang rela berpisah jauh dari buah hatinya untuk waktu yang lama? Terlebih ia adalah satu-satunya anak yang msih ada di keluarga. Tidak seperti kakak perempuannya yang telah menikah dan di boyong ke keluarga suaminya.

“Kalau itu baik kenapa tidak, Ayah merestuimu” Ayah  tersenyum mencoba menyemangati Ana yang masih menangis meski sejujurnya ada bersitan rasa khawatir jauh di dalam sana.

“Makasih Yah” ucap Ana parau.

“Kalau itu memang jalanmu kesana, Ibu juga merestuinya” Ibu memeluk Ana lebih erat, membawa tubuhnya lebih mendekat dari sebelumnya.

“Makasih, bu”

Sore itu adalah sore paling mengharukan, disaat yang lain tengah sibuk menata hari yang beranjak malam, Ana hanya terduduk bersimpuh menangis tak percaya dengan yang ia terima, impiannya, setelah beberapa kali penolakan, sebentar lagi.

 Ana tengah mengemasi pakaiannya ke dalam koper sembari mendengarkan beberapa lagu ballad kesukaannya, tapi lagu-lagu Brian Mcknight dan Michele Bubble tetaplah favoritnya. Sesekali ia bersenandung mengikuti lirik yang mengalun pelan. Ia bahagia. Tentu saja. Lebih dari sekedar bahagia.

“Konbanwa, Ana-san!” Sebuah kepala menyembul dari balik pintu kayu kamarnya. Itu Maulida. Gadis muda dua puluh empat tahun itu tersenyum senang memamerkan gigi putihnya, melempar senyum pada Ana yang masih terpaku di depan almari pakaiannya.

 Ana sama sekali tak menjawab, tapi seulas senyuman jelas tampak melengkung menghiasi wajahnya cerah.

“Seperti itu nanti kau di sebut” ucap Maulida lagi.

Tangannya masih membereskan beberapa baju yang tergantung di lemari, Ia tertawa mendengar gurauan Maulida, sahabatnya.

“Ya… Mungkin”

Sembari berjalan lebih dekat, Maulida mencoba menegok persiapan Ana yang akan terbang besok, menggunakan jam terbang pagi, katanya.

“Ada yang bisa ku bantu?” tawar Maulida tetapi di jawab gelengan kecil dari Ana.

“Tidak perlu, aku sudah selesai kok, tinggal memasukkan baju ini dan menutup koper, itu saja” Ia memamerkan sweater merah di tangannya.

Maulida mengangguk mengerti.

Ana menarik resleting kopernya dan menguncinya, berdiri di depan kopernya dan  merasa bangga dengan apa yang telah ia kerjakan,”Nah, sekarang sudah benar-benar selesai” Ia tersenyum senang.

Mereka kini saling terdiam mendengarkan lantunan lagu Back at one milik Brian McKnight yang terputar dari MP4 di nakas meja rias.

“Jadi…. Berapa lama?” Kali ini Maulida membuka suara, ia menatap wajah Ana yang hanya berjarak tak kurang enam langkah dari tempatnya duduk.

 Ana menggeleng pelan, “Aku tidak yakin berapa lamanya, tapi, sepertinya tidak akan terlalu lama, sekitar tiga sampai enam bulan

“Ini impianmukan?”

Ana mendesah sebentar, ia sedikit risau setelah menyadari kenyataan bahwa ia akan meninggalkan kedua orang tuanya di sini, meninggalkan rumah tempat ia di besarkan, tapi ia tak akan lama, ia akan kembali, bukankah rumah ini selalu terbuka untuknya? Setidaknya untuk beberapa tahun sebelumnya.

“Ya. Aku selalu memimpikan waktu ini, berada disana, menikmati rindangnya pohon sakura di musim semi, menikmati salju di musim dingin, menikmati jalan-jalan disana, menikmati kemodernan yang berkembang dan kebudayaan yang terjaga, dua hal yang sangat berkebalikan tapi mereka dapat mendampingkannya dengan baik”

“Aku senang mendengarkanmu bahagia” Maulida tersenyum paksa.

“Tapi…aku mengkhawatirkan kedua orangtuaku”

Hening.

Tidak ada percakapan.

Mereka saling terdiam dan lebih memilih berkutat dengan pikiran masing-masing.

“Tenang saja, aku disini, Ayah dan ibumu sudah kuanggap seperti keluarga, aku akan menjaga mereka selagi kau berada di Jepang” ucap Maulida meyakinkan.

“Terimakasih”

Ana tersenyum, kali ini ia tersenyum dengan indah dan hangat.

Setidaknya mendengarnya membuat ia dapat mengurangi sedikit beban pikirannya meski ia tak bisa melimpahkan segalanya pada Maulida. Gadis itu juga punya keluarga.


 “Jangan lupa menelfon, makan yang teratur, vitaminnya jangan lupa di minum, kalau liburan cepat-cepat pulang ya nduk!” nasehat ibu di depan gate.

“Iya, bu, Ana akan segera menelfon kalau sudah sampai sana”

“Sweaternya udah di masukkan belum Nduk?” Ayah yang merangkul Ibu mulai ikut bersuara.

Ana tersenyum,”Sudah yah

Ayah dan Ibu saling mengangguk kecil, Ana mendesah perlahan.

“Aku pasti merindukan ibu dan Ayah” ucapnya.

“Kami juga pasti merindukanmu”

Mata Ana berkaca-kaca, Ah… beginikah rasanya meninggalkan orang-orang yang tercinta? Ia berjalan mendekat dan memeluk Ibu dan Ayahnya bergantian. Mencurahkan segala gundahnya disana, berharap dengan pelukan inilah ia bisa menjadi lebih baik. Terlebih hatinya.

“Kau harus masuk gate sekarang!” Maulida menepuk pelan pundak Ana, mengingatkan bahwa ia harus check in.

Ana mendengus berat, tangan ibu yang masih mengelus punggung Ana terasa seperti lebih seratus kali lipat nyamannya kali ini. Mengapa dari dulu ia tak menyadarinya?

“Ibu dan Ayah harus baik-baik disini, telfon Ana kalau terjadi apa-apa ya bu” Ana menatap kedua orang tuanya.

Ibu dan Ayah hanya mengangguk, ibu mulai sedikit menitikkan air mata sedangkan Ayah, beliau hanya merangkul ibu. Menguatkan.

“Ana pergi dulu bu” Ana merangkul sekali lagi kedua orang tuanya lalu menyeret koper besar miliknya memasuki gate.

Ia melangkah berat, tak berani menoleh karena ia tahu ia tak akan mampu melihat orang yang ia cintai masih disana menunggunya untuk tak terlihat lagi. Ini impiannya! Momen dimana yang selalu ia tunggu, Bekerja di luar negeri, Jepang lebih tepatnya.

Ana duduk di kursi pesawat dekat dengan Jendela, di sampingnya ada seorang lelaki oriental berpakaian batik tersenyum padanya. Ana membalas sebentar lalu kembali melihat keluar jendela, melihat gumpalan-gumpalan putih awan di langit biru dari dalam pesawat.

 Ia teringat dimana kali pertama keinginannya tumbuh dalam dirinya, ketika dia masih terduduk di bangku SMA enam tahun yang lalu. Di saat seorang teman memberikannya satu set penuh film Jepang padanya, lucu memang, hanya karena satu set film Jepang mampu membuatnya jatuh hati.

Ana bukanlah gadis pintar atau terkenal, ia hanya gadis biasa-biasa saja dengan otak yang cenderung pas-pasan, dia memang mempunyai beberapa kenalan lelaki tapi tak satupun diantara mereka mampu membuatnya jatuh hati. Dia gadis yang fleksibel dalam hal apapun meski banyak diantara temannya menganggap ia adalah gadis aneh. Bagaimana tidak? Ana selalu menunjukkan ke ambisiannya terhadap Jepang. Dalam hal apapun. Bahkan sekalipun untuk urusan persahabatannya. Maulida contohnya. Gadis itu harus selalu bertambah sabar ketika Ana menceritakan bagaimana impiannya di Jepang suatu saat nanti. Menceritakan bagaimana kronologi film jepang yang mereka tonton atau bagaimana perkembangan industri hiburan lainnya yang sebenarnya telah ia tahu dari cerita Ana sebelumnya. Kadang ia hanya menjadi pendengar yang baik dan tak jarang merespon setiap yang tertutur dari bibir kecil Ana yang selalu mengoceh.
Dan kini, takdir membawanya benar-benar menapaki tanah negeri sakura, belum memang, tapi hampir. Ana sangat bekerja keras untuk mendapatkan promosi di kirimkan ke Jepang di perusahaan tempatnya bernaung untuk pelatihan di sebuah majalah Indonesia disana, beberapa kali sebelumnya ia sempat di tolak, dari beasiswa di kampusnya atau beasiswa pemerintah, ia selalu tersisih pada tahap terakhir, rupanya tekad dan impinya lebih besar ketimbang rasa menyerah, jujur saja Ana sempat terpuruk untuk waktu yang lama. Membuatnya harus melupakan sejenak keinginan dalam dirinya, tapi ketika berita promosi itu terngiang di gendang telinganya, mimpinya kembali muncul, mimpinya yang baru.

Ia melihat ponsel miliknya. Sejam yang lalu seorang teman dari kantor memberi tahu bahwa saat tiba nanti ia akan di sambut seorang gadis Jepang bernama Haru, awalnya ada sedikit ketakutan dalam diri Ana, ia belum begitu menguasai bahasa Jepang dan menggunakan bahasa Inggris adalah sedikit solusinya, ia tak tahu apakah Haru bisa menggunakan bahasa Inggris atau tidak, tapi kekhawatirannya pupus saat satu pesan masuk yang bertulisan bahwa Haru merupakan seorang translator Indonesia-Jepang. Alhamdulillah.....

Sembari mendengar lagu jazz dari earphonenya, Ana mulai memejamkan matanya, ia tersenyum bersender pada bangkunya.  Ia tak sadar seorang laki-laki terduduk beberapa deret darinya tengah menatapnya. Mengerutkan kening seakan ia tengah berfikir.  

Ana menyeret kopernya keluar. Ia melihat seorang wanita muda berbadan mungil dengan rambut sebahu warna coklat dan berwajah sangat Oriental tengah membawa papan atas namanya, wanita itu melambai padanya dan tersenyum senang saat mendapati Ana telah berdiri di depannya.

“Ohayo gozaimasu” Ana membungkuk memberi salam khas warga Jepang yang ia tahu jauh sebelumnya.

“Ohayo gozaimasu” balas wanita itu.

“ Anda Haru-san?” Ana bertanya sembari mencoba menebak.

“Ya, saya yang mengirim e-mail kepada Ana-san, mari saya bantu” Haru menyeret satu koper di sisi kiri Ana, mereka bersama-sama berjalan menuju tempat parkir dimana mereka telah di tunggu oleh sebuah mobil van berwarna putih.

Van meluncur pelan menyusuri kawasan Tokyo, menuju apartement. Ana memandang keluar jendela. Orang-orang berjalan tergesa. Kendaraan berlalu lalang. Gedung-gedung menjulang angkuh. Pohon-pohon tampak tumbuh di sepanjang jalan. Hmm, dia harus mulai beradaptasi dengan keadaan seperti ini.

“Ana-san?”

Lamunan Ana buyar oleh sentuhan pelan di tangannya.

“Ana-san tampaknya sedang asik dengan dunia Ana-san sendiri, sampai tidak sadar akan pertanyaan saya” ujar Haru tersenyum cerah.

Ana hanya tersenyum canggung. Akh… betapa memalukannya ketahuan melamun seperti ini.

“Oh, Maaf. Saya terlalu asik melihat pemandangan diluar” ujar Ana.

Haru tersenyum lagi.” Tak apa, saya mengerti” Haru mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu disana.

“Hm.. kalau boleh tahu Haru-san tadi bertanya apa ya?”

Haru menoleh.”Bagaimana menurut Ana-san, Jepang?”

Ana tersenyum. Pertanyaan Haru membuatnya mengingat kembali kenangan di masa lalunya, ketika ia hanya bisa melihat Jepang di kalender-kalender, Majalah, buku eksiklopedia atau bahkan acara travelling di stasiun televise kabel di rumahnya.

“Bagus, pemandangannya jauh lebih indah ketika terlihat langsung” kata Ana.

“Saya harap Ana-san bisa cepat beradaptasi dengan Jepang” ucap Haru tulus.

Ana hanya tersenyum.

“Kita hampir sampai”

Ana melongokkan kepalanya untuk lebih dekat dengan jendela. Di sana ia melihat satu gedung besar yang bertingkat menjulang tinggi. Ada banyak jendela di setiap tingkatnya, jendela dengan setiap balcon kecil. Jadi disinilah ia akan tinggal?

 “Ana-san akan tinggal bersama Casandra” ucap Haru-san ketika mereka sampai di lantai bawah gedung flat.

“Casandra?”

“Iya..”

Ana menatap dengan heran, sebelumnya ia sama sekali tak pernah mendengar nama Casandra, lalu tiba-tiba Haru mengatakan padanya bahwa teman satu apartementnya adalah Casandra. Ana menatap dengan mata yang menuntut penjelasan.

Haru yang ditatap begitu, pada akhirnya hanya berdeham, “Casandra adalah gadis blasteran Australia-Korea, ia juga mendapat promosi kerja dari perusahaannya di Australia”jelasnya.

Ana menghela nafas, setidaknya penjelasan singkat Haru sedikit menolong hatinya yang seperti tidak akan tenang sebelum mengetahui siapa itu Casandra.

“Casandra-san sangat baik. Saya harap Ana-san bisa mudah dekat dengan dirinya. Kantornya dan tempat Ana-san akan bekerja juga tidak begitu jauh” jelas Haru.

Ana mengangguk.

Mobil terparkir di pinggir jalan dekat flat. Ana segera membuka pintu mobil untuk bersiap, dirinya akan mengambil barang-barang yang sebelumnya telah disimpan dalam bagasi oleh supir Haru.

“Flat Ana-san ada di lantai dua, kamar dua ratus delapan, maaf, hanya bisa menemani Ana-san sampai disini, Oh iya, nanti Saya akan menghubungi Ana-san lewat telefon flat. Besok saya akan berjumpa lagi dengan Ana-san. Selamat beristirahat Ana-san” Haru membukukkan badannya sembilan puluh derajat dan hal yang sama langsung diikuti Ana-san.

Ana menyeret koper besarnya memasuki lobby flat. Ia terus menyeret kopernya hingga memasuki lift. Sebenarnya bagi dirinya satu kamar dan dapur kecil dengan kamar mandi di dalam sudah sangat cukup, ia tahu biaya hidup di Jepang sangat lah tinggi sangat timpang dengan biaya hidupnya selama ini di Indonesia. Terlebih disana ia masih hidup dengan kedua orang tuanya. Ah... mengingat keduanya membuat Ana ingin segera memberi kabar.  Ana berdiri di depan sebuah pintu apartement dengan tulisan dua ratus delapan.
Gadis itu memencet bel pintu. Dan seorang gadis blasteran membukanya.

***

“Sepertinya Ana-san terlihat lelah, apa perjalanannya sangat jauh?” Casandra, gadis itu tersenyum senang saat menyambut Ana tadi. Bahkan sekarang ia menemani Ana berberes kamar.

“Sedikit, tapi tadi di pesawat saya tidur, jadi tidak terlalu lelah”

Casandra mengangguk anggukkan kepalanya.

Tadi hal pertama yang membuat Ana terkejut bukanlah saat ia berhadapan langsung dengan Casandra, tetapi saat dimana gadis cantik itu menyapanya dengan kalimat “Selamat siang Ana-san, saya senang bisa berjumpa denganmu, apakah ada yang bisa saya bantu?” kalimat yang meski tak fasih tetapi sangat jelas terdengar di telinga Ana.

Ana langsung terpana, Casandra? Dan bahasa Indonesia?

Casandra juga ikut terdiam meski tetap memamerkan senyumannya yang terus berkembang.

You can...?”

I can, tapi sedikit”

How?”

When I’m in high school, Bahasa is one of my curriculum”  

Ana terdiam. Ia tahu jika Bahasa ibunya itu sudah mulai cukup terkenal di beberapa negara, salah satunya negara tetangga mereka, Australia. Dan apakah Casandra salah satu contoh hasil berkembangnya bahasa ibunya itu?

“Saya akan membuat makan siang dulu”

Ana melihat kearah Casandra. “Okay” jawabnya.

Setelahnya Casandra berjalan keluar dari kamar dan meninggalkan Ana dengan setengah koper barang bawaannya.

Flat ini tidak terlalu sempit. Ada dua kamar, satu kamar mandi, satu dapur kecil dan satu ruang tamu di tengah dengan meja dan televisi kabel yang mungkin dapat dirangkap menjadi meja makan. Ada satu lorong pendek saat masuk dari pintu menuju lantai ruang tamu dan disampingnya ada satu rak sepatu yang baru terisi satu pasang highhell dan satu pasang sandal lantai putih berbentuk kelinci.

 Ana meletakkan setumpuk pakaian miliknya ke dalam lemari, setelahnya gadis itu terduduk di pinggir ranjang kamar tidurnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ia telah berjanji akan segera memberi kabar ke kedua orangtuanya setibanya di Jepang. Tapi bahkan ia belum mengganti nomor ponselnya. Tidak mungkin ia menghubungi kedua orang tuanya lewat nomor ponsel. Jalan pintasnya ia akan menghubungi keduanya lewat chat keluarga. Chat diantara kedua orang tuanya, dirinya, kakak perempuannya dan kakak iparnya yang terbiasa saling berdiskusi bersama.

“Assalamualaikum, Alhamdulillah Ana sudah sampai Jepang. Sudah menempati flat kecil yang nyaman. Ana akan mulai bekerja besok, do’akan lancar”

Semenit kemudian Kak Anjas, kakak iparnya menuliskan kata “Alhamdulillah dan amin” yang disusul dengan pesan yang sama dari Ibu dan Ayahnya. Lalu Kak Eren, kakak perempuannya juga ikut-ikutan.





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKSD

[FF Oneshoot] Really Love You...