[FF Series] Marry a Boy (chapter 5)
Marry a Boy (Chapter 5)
||Author : Octhavia || Title : Marry a Boy || Cast : Lu Han, Kang Eun Jae (oc), Wu Yi Fan || Rating :
PG || Genre : Romance, Comedy, Marriage Life, AU and others || Length : Chaptered || Author’s personal blog :
Previous chapter : chapter 1|| chapter 2 || chapter 3 || ?? ||
Ini penculikan!!!
Eun Jae seharusnya
menelfon polisi setempat. Iya, seharusnya. Tapi…
Ini Eommanya. Perlukah?
Tidak. Eun Jae akan
menjadi anak paling durhaka jika melakukan hal itu.
Lalu… mengapa Eommanya
itu menculik paginya di akhir pekan seperti ini. Bersama LuHan.
Flashback
Ting… Tong…
Eun Jae menggeliat
pelan.
Ting… Tong…
Ugh… ini kedua kalinya.
Eun Jae bangkit dari tidurnya. Mencoba mengumpulkan kesadarannya secepat yang
ia bisa. Sedikit menoleh kearah jam weker di nakasnya, pukul enam pagi di akhir
pekan. Dan ada yang bertamu di akhir pekan sepagi ini? Sial! Itu menganggu.
Ting Tong
Okey! Eun Jae mulai
bangkit dan berjalan menuju pintu kamarnya. Keluar dari kamarnya. Tapi…. Seseorang
sepertinya sudah berada di depannya.LuHan.
“Apa itu temanmu?”
Tanya Eun Jae.
Sedang LuHan yang masih
dengan muka setengah sadarnya menggelengkan kepala. “Aku tidak memanggil
siapa-siapa akhir pekan ini”
“Mungkinkah itu gadis
yang kemarin?”
LuHan menatap Eun Jae.
“Tidak mungkin! Mereka tidak akan melakukan hal gila sepagi ini”
“Oh… baiklah, kalau
begitu, kita cek saja di intercom” Eun Jae berjalan beriringan dengan LuHan
berhenti didepan layar sebesar kotak box music. Alis mereka mengernyit
bersamaan.
Hanya punggung seorang
wanita yang terlihat. Mereka tak bisa sama sekali mengira siapa pemilik punggung
itu.
“Kau mengenalnya?” LuHan
menoleh kearah Eun Jae.
Gadis itu menggeleng
ragu sambil berfikir. “Hm………sepertinya………dia mirip……..…”
“Eun Jae-ah!!! LuHan-ah!!!!
Ayo cepat buka pintunya!!”
“Eo…Eo…EOMMA?!” teriak
Eun Jae keras.
***
“Kenapa tak mengatakan
Eomma akan datang sepagi ini?” LuHan sedikit berbisik di telinga Eun Jae.
“Mana aku tahu. Aku
juga sama kagetnya denganmu”
Mereka menghela nafas
agak berat. Sembari mendorong trolinya LuHan menatap Eun Jae dalam, seakan
mengintimidasi gadis itu.
“Kau yakin tak tahu
sama sekali tentang eommamu yang datang pagi-pagi ini?”
Bergantian Eun Jae
menatap LuHan dalam. Memicingkan mata kearah lelaki yang berjalan di sampingnya.
“Kau kira aku
berbohong?”
LuHan mengangguk.
TUK.
Satu pukulan tepat
mengenai kepala LuHan. “Apa yang kau pikirkan? Memangnya buat apa aku berbohong
padamu hah?”
“Akh… kau ini! Kupikir
kau yang berbohong!” Tangan LuHan mengosok-gosok kepalanya. Bibir lelaki itu
mengerucut sebal.
“Oh… LuHan-ah! Eun
Jae-ah! Menurut kalian Eomma harus membeli lobak yang mana?”
LuHan dan Eun Jae
menatap eomma yang tengah berdiri di stand sayuran dengan dua lobak besar di
kedua tangannya.
“Yang mana saja. Aku juga
tidak akan makan sayur eomma” jawab Eun Jae terlihat tak peduli.
“Hey… anak nakal! Aigo…
bagaimana aku bisa melahirkanmu dulu?” ucap Nyonya Kang berbalik menatap Eun
Jae.
“Eomma!!!” rengek Eun
Jae tak menerima Eommanya berkata seakan kelahiran dirinya disesalkan dan
juga….. nakal?
“Wae??? Kau mau
mengelaknya? Aish… gadis manja ini! Seharusnya dulu aku memberimu sayur saja
setiap harinya”
“Eomma ingin aku cepat
mati? Kenapa harus sayur setiap hari?”
“Agar kau tak sebodoh
itu! Kenapa kau tak bisa makan sayur disaat sayur mempunyai banyak manfaat?”
Mata Eun Jae menatap LuHan.
Gadis itu seakan meminta pertolongan LuHan kali ini. Jika eomma tak dihentikan,
maka Eun Jae akan mendapatkan ceramah pagi tentang sayur. Dan dengan tersenyum,
LuHan mendekat kearah Nyonya Kang.
“Eommonim bukankah
seharusnya eommonim memilih sayuran lagi? Mungkin dengan Eun Jae kali ini. Agar
gadis itu juga bisa mengenal lebih jauh tentang sayuran”
Eun jae menatap tak
suka. Bukankah ini namanya pelarian diri sendirian? LuHan mengumpan dirinya?.
That’s good.
“Kau berfikir begitu?
Uhm… mungkin memang benar! baiklah Eun Jae kau harus ikut Eomma sekarang,
kajja!”
Nyonya Kang berjalan
lebih dulu, sedang Eun Jae menatap sadis kearah LuHan. Baginya LuHan lebih
menyebalkan daripada sayuran tempo hari.
“Kenapa? Ada yang
salah?” LuHan menatap tak bersalah lelaki itu malah berjalan santai melewati
Eun Jae begitu saja.
“Yak! Xi LuHan! Kau tak
akan selamat nanti!” ada penekanan di setiap kata pada kalimat terakhir yang
terlontar dari bibir Eun jae sebelum gadis itu melangkah mengikuti Eommanya.
“Wow… aku tak sabar
menunggunya” jawab LuHan sembari tersenyum menarik ujung bibir kanannya.
Right!
Eun jae mengumpat dalam hatinya. Benar-benar umpatan besar untuk LuHan.
***
"Kris-sii! Uhm…
aku pergi ke supermarket, uhm…., bisakah kau mengantarku?”
Kris menoleh kearah
Aurora yang tengah berdiri di dekat rak sepatu, lelaki itu menghela nafas
sebentar lalu berdiri dari sofa ruang televisinya.
“Baiklah!” ucapnya yang
disambut senyuman lebar Aurora.
Kris mengambil kunci
mobilnya dan melewati Aurora berjalan mendahului wanita itu begitu saja dan
mengganti sepatunya. Di belakangnya Aurora mengikuti perlahan-lahan.
“Kau ingin ke
supermarket mana?” Kris bertanya pelan.
Aurora mendongakkan
kepala melihat punggung Kris. “ Bagaimana jika supermarket di dekat apartement
Universitas tempat kau mengajar? Aku dengar disana ada beberapa bahan yang
punya kualitas cukup baik ketimbang di supermarket yang biasanya”
Kepala Kris mengangguk
kecil “Arra!”
***
“Kenapa Eomma bisa
datang sepagi ini?” Eun Jae mengambil beberapa bungkus keripik dari rak-rak
yang berjejer di sampingnya.
“Wae? Apa eomma tidak
boleh hum?”
Eun Jae menggeleng
pelan. “Bukan begitu, hanya saja sangat jarang eomma mengunjungi aku dan LuHan
sepagi ini”
“Eomma hanya ingin
melihat kalian. Apa itu tidak boleh?” jawab nyonya Kang yang masih sibuk
memilih beberapa botol kecap.
Eun Jae menggeleng
lagi, kali ini terlihat lebih keras. “ Jadi ada apa? Eomma pasti ada sesuatu
yang akan di beritahukan pada kami. Iyakan?” tebaknya.
Gadis itu nampak
bersungguh-sungguh. Ia bahkan berhenti mendorong trolinya, juga berhenti
melangkah. Ia benar-benar ingin tahu alasan eommanya.
Nyonya Kang berbalik
dan menatap putrinya. “Kita bicarakan ini nanti sekembalinya kita dari sini”
“Ania…” tolak Eun Jae.
“Eomma bisa memberitahuku sekarang”
Nyonya Kang membuang
nafas beratnya. Putrinya memang keras kepala. “Baiklah! Tapi ingat jangan
beritahu LuHan dulu sebelum eomma membicarakan kepadanya tentang hal ini,
biarkan eomma saja yang mengatakannya nanti di apartement”
Eun Jae mengangguk.
“Eun Jae-ah!”
Eun Jae menatap dalam,
mencoba mendengar kalimat berikutnya yang akan terucap dari bibir eommanya.
“Bisakah kau menikah
dengan LuHan minggu depan?”
***
LuHan berjalan keluar
dari barisan peralatan rumah tangga. Kakinya tetap berjalan tapi setidaknya
kini ia mempunyai sedikit tujuan, setelah lama berputar-putar tak jelas.
Menemui Nyonya Kang dan tentu saja Eun Jae. Ini sudah lebih dari lima belas
menit. Waktu yang cukup membiarkan Eun
Jae mendapatkan ceramah tentang sayur. Tak bisa di bayangkan bagaimana ekspresi
wajah Eun Jae saat ini, bahkan LuHan ingin tertawa dengan hanya membayangkannya
saja.
“Bagaimana dengan selai
kacang?”
LuHan terdiam.
Suara ini.
Suara Kris! LuHan
menatap pasangan yang berdiri di depannya, setengah meter darinya, berdiri
seorang wanita yang tengah memilih beberapa kaleng selai, di sampingnya Kris
nampak mendorong troli, mereka terlihat berdiskusi kecil. Sesekali wanita itu
menoleh kearah Kris namun Kris terlihat sedikit menghiraukannya.
LuHan memperhatikan
keduanya hingga secara tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Bukankah sekarang Nyonya
Kang dan Eun Jae juga berada di tempat yang sama? Bagaimana jika mereka
bertemu? Dengan Aurora dan juga Kris?
Sejujurnya ada segaris
kekhawatiran di hati LuHan. Tentang gadis seapartementnya itu. Apakah gadis itu
telah melupakan masa lalunya? Melupakan Kris.
“Lu!”
LuHan mendongak dan
tepat di ujung lorong sana berdiri Eun jae. Gadis itu mengangkat tangannya
tinggi-tinggi, menandakan bahwa dirinya
yang telah memanggil LuHan. Ini nampak buruk. Eun Jae mungkin saja tak melihat
Kris dan Aurora. Akh… tidak, mungkin gadis itu melihat Kris dan Aurora. Hanya saja mungkin ia
tak bisa benar-benar mengenali bahwa itu Kris dan Aurora. Tentu saja. Eun Jae
berada tepat di belakang mereka. Meski agak berjauhan.
“Lu!” teriak Eun Jae
kedua kalinya.
Gadis itu menyilangkan
kedua tangannya di depan dada. Mempautkan bibirnya kesal karena LuHan sama
sekali tak merespon panggilannya. Lelaki itu bahkan hanya berdiri diam tak
berkutik. Hanya menatap Eun Jae dari kejauhan seakan tengah berfikir disana.
Gadis itu geram. Ia
mulai bertekad jika pada panggilan ketiga LuHan sama sekali tak merespon maka
ia sendiri yang akan menyeret lelaki itu hingga ke apartement mereka. Gadis itu
menghela nafas sebentar. Menggambil aba-aba untuk meneriaki nama LuHan untuk
ketiga kalinya.
“L..”
Lelaki itu berlari.
Cepat.
Kearahnya.
Dan….
Memeluk Eun Jae sembari memutar tubuh gadis
itu yang terkejut menerima pelukan tiba-tiba dari LuHan. Acara pelukan itupun
sedikit banyak menarik perhatian beberapa pengunjung yang lain. Setidaknya
Nyonya Kang mungkin akan terlihat senang jika melihat kejadian ini. Sayangnya
baru tiga menit lalu beliau berpamitan ke kamar mandi.
“Yak Lu!” Eun Jae
bergerak sedikit, ia ingin melonggarkan pelukan LuHan.
“Sebentar” bisik LuHan,
lirih hampir tak terdengar.
“A.. ada apa?”
LuHan terdiam, tak
menjawab sama sekali.
“Yak! Xi LuHan! Kau tak
malu di lihat oleh pengunjung yang lain? Cepat lepaskan aku!” protes Eun Jae.
Kepala gadis itu tepat berada di dada bidang LuHan dan di jarak sedekat ini, secara
pasti gadis itu dapat menghirup parfum LuHan. Demi apapun. Parfum LuHan
benar-benar membuatnya sedikit kehilangan nafas. Memabukkan. Apa Lelaki ini
sebelumnya bermandikan parfum?
“Xi…” ucap Eun Jae
memohon namun tangan LuHan mendekapnya lebih erat. “Bisakah kau…”
“Mereka ada disini!”
Eun Jae menatap wajah LuHan.
“Nuga?” alisnya berkerut penasaran.
“Kris dan…. Aurora”
Eun Jae tercenung
kepala gadis itu menatap dada bidang LuHan lagi. Mendengar dua nama itu
membuatnya menelan saliva. Tenggorokannya terasa kering dan kerongkongannya
terasa tercekat.
LuHan menunduk, ia
mengamati perubahan raut wajah gadis yang didekapnya. Terlihat jelas bahwa Eun
Jae tak bisa berkata apa-apa. LuHan memajukan wajahnya menempatkan bibirnya
tepat di samping telinga Eun Jae, berada di lekukan leher gadis itu.
“Let’s
go back!” bisiknya.
Eun Jae menuruti
permintaan LuHan untuk segera pulang ke apartement. LuHan menuntun gadis itu
perlahan. Mengingat gadis itu mengalami perubahan signifikan pagi ini.
Sesampainya dirumah,
Nyonya Kang , LuHan dan Eun Jae berkumpul menjadi satu di ruang televise.
Nyonya Kang tampak bersikap biasa,
menceramahi kedua manusia itu tentang seberapa pentingnya sayuran meski ia
merasa ada sesuatu terjadi selama ia berada di toilet. Eun Jae menjadi sangat
pendiam dan LuHan terlihat sangat khawatir, bahkan lelaki itu sempat beberapa
kali menoleh kearah Eun Jae selama dalam perjalanan pulang hingga sekarang. Menatap
Eun Jae dengan tatapan kegelisahan.
“Eomma, aku rasa aku
sedikit pusing, aku permisi ke kamar dulu. Annyeong!” Gadis itu berdiri lalu
membungkuk memberi hormat. Setelah itu ia berjalan menuju kamarnya.
“Lu! Apa yang terjadi?”
LuHan menggeleng. “Tidak apa-apa Eommonim. Dia
hanya sedikit pusing” LuHan tersenyum menunjukkan bahwa memang tak ada yang
terjadi. Atau mungkin belum.
Nyonya Kang mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu bisakah aku berbicara serius sekarang denganmu?”
Mata LuHan menyipit. “Berbicara
serius?”
Nyonya mengangguk.
“Tentang dirimu dan Eun Jae”
“Hm.. Baiklah”
LuHan membenarkan cara
duduknya. Ia terlihat bergeser sedikit.
“Xi LuHan..”
“Ne”
“Bisakah kau menikahi
putriku minggu depan?”
Mata LuHan
membulat.”Ne?!”
***
LuHan mengecek jam. Ini
sudah pukul lima sore dan Eun Jae sama sekali tak keluar dari kamarnya semenjak
ia berpamitan memasuki kamarnya tadi pagi. Sebenarnya ada perasaan yang
mendorong LuHan untuk mengetuk pintu kamar Eun Jae. Namun entah sudah berapa
kali ia hanya menemukan dirinya berdiri terdiam di depan pintu itu. Seperti
saat ini. Sudah sekitar sepuluh menit lamanya ia berdiri terdiam di depan pintu
kamar Eun Jae. Menatap pintu itu dalam diam.
Krek…
Knop pintu itu berputar
dan Eun Jae keluar dari kamarnya. Gadis itu terlihat baik-baik saja. Setidaknya
ada kelegaan yang berhembus di hati LuHan.
“Hai!” Sapa lelaki itu
sembari mengangkat tangan kanannya, sedang tangan satunya lagi ia masukkan ke
dalam saku celananya.
“Hai” jawab gadis itu
lirih.
LuHan melangkah mundur.
Memberikan jalan keluar untuk Eun Jae. Mata LuHan mencoba mengamati Eun Jae,
menelisik apakah ada perubahan lainnya atau tidak.
Eun Jae berjalan pergi,
gadis itu menuju dapur. Meraih segelas air putih dan meminumnya hingga tandas.
“Kau baik-baik saja?”
Eun Jae mengangguk
mengiyakan.
“Baguslah” LuHan
tersenyum “Hm… tadi Eommonim berbicara padaku”
Eun Jae menoleh kearah LuHan.
Gadis itu melihat betapa kakunya LuHan sekarang. Lelaki itu bahkan tanpa sadar
tengah memainkan jari-jarinya dengan gelisah.
“Arra!”
LuHan mendongak. “Mwo?”
“Aku tahu. Kau mau
membahas tentang pernikahankan?”
LuHan berjalan
mendekati Eun jae. “Kau sudah tahu?”
Eun Jae mengangguk. “Aku
yang memaksa eomma memberirahuku tadi pagi di supermarket. Aku rasa ada yang
aneh ketika eomma mengunjungi kita sepagi itu. Jadi, aku pikir pasti ada alasan
mengapa eomma melakukan hal itu”
“Lalu?” Tanya LuHan.
Lelaki itu kini telah berada di samping Eun Jae. Menopangkan satu tangannya di
meja dapur.
“Lalu apanya?”
“Apa responmu?”
Eun Jae terdiam sedikit
berfikir. “Biasa saja”
LuHan memutar bola
matanya sebal. “Apa maksud kata biasa saja? Kau bersedia menikah denganku?”
Eun Jae mendesah. “Apa
yang harus ku lakukan?” Gadis itu menatap mata LuHan dalam mencari kepastian
dari si pemilik mata itu.
LuHan mulai berdiri
tegap lalu berjalan menghampiri Eun Jae lebih dekat lagi. meletakkan kedua
tangannya di bahu gadis itu.
“Pernikahan bukan
permainan Eun Jae-ah! Aku tak ingin kau melakukannya karena paksaan. Meskipun
dari awalpun semua ini memang paksaan dari kedua orang tua kita” LuHan mendesah
cukup panjang, memberikan jeda untuknya melanjutkan ucapannya.
“Kuberi kau waktu satu
malam untuk memikirkannya”
LuHan melepaskan
tangannya dari bahu Eun Jae lalu meninggalkan gadis itu.
***
Eun Jae tak banyak
melakukan hal-hal lain setelah ia keluar dari kamarnya. Sejujurnya ia juga
masih cangung dan tak tahu harus melakukan apa. LuHan telah masuk ke kamarnya.
Eun Jae yakin LuHan sudah cukup lama menunggunya keluar tadi. Lelaki itu
terlalu baik. Bahkan LuHan sudah menyiapkan makan malam di meja. Juga pesan
penyemangat yang ia sematkan di pintu lemari es.
Setelah mengisi
perutnya yang kosong. Eun Jae beranjak mencuci piring-piring kotor. Entah
mengapa kali ini dia bersedia melakukannya. Gadis itu medesah disela-sela ia
membilas piringnya. Kembali berfikir tentang yang LuHan ucapkan.
Pernikahan….
Tentu saja bukan
permainan. Lalu?
Eun Jae menyelesaikan
pekerjaannya dan kembali beranjak memasuki kamarnya lalu berbaring di atas
tempat tidur. Dia menarik selimut tebal warna krem dan menutupi tubuhnya hingga
ke leher, tangannya menjangkau tombol kecil di sisi meja untuk mematikan lampu
meja dan memandang keluar jendela.
Diluar terlihat sedikit
terang. Langit tampak jernih dan bulan separuh penuh bersinar cemerlang. Gadis
itu masih bisa melihat sedikit puncak gedung-gedung di luar sana. Berpadu
dengan langit dan bulan. Sejenak Eun Jae terdiam. Pandangan seperti ini dulu
menjadi pandangan malam favoritnya dengan Kris.
Akh…. Kris.
Bukankah tadi pagi ia
nyaris bertemu dengan lelaki itu? Tapi diluar dugaan. Mendengar nama Kris dan
menerima kenyataan bahwa ia berada di tempat yang sama dengan Aurora dan juga, kenyataannya mereka masih membuat Eun jae tak mampu berpijak. Eun Jae bahkan
harus dituntun LuHan karenanya.
Eun Jae berbaring
menyamping. Tangan gadis itu meraba mejanya, membuka laci kecil dan menemukan
ponsel lamanya disana. Ia hidupkan ponselnya dan mencoba mencari kontak
seseorang.
Ini sudah lama sekali.
Eun Jae menggigit bibirnya ragu. Dia menekan dengan ragu sebuah kontak yang
tertera di layar ponselnya.
Terdengar dering
sekali. Lalu telepon di seberangpun diangkat.
“Yeoboseo?”
Hati Eun Jae mendadak
panik ketika mendengar suara beraksen berat itu.
“Eun jae-ah… itukah
kau?”
Ya tuhan, ini kesalahan
terbesar.
“Say something….please.”
Klik. Eun Jae segera
menutup ponselnya.
Gadis itu diam tak bergeming.
Itu suara, Kris.
***
Seperti di malam-malam
sebelumnya, Kris mendapatkan ketenangan di balik tumpukan file dan layar
monitor di ruang kerja pribadinya. Lelaki itu sibuk mengetik dan meneliti
beberapa berkas. Dan ketika dia menemukan ponselnya berdering atas nama
seseorang lain diseberang sana. Lelaki itu seakan melupakan semuanya. Ia
bergegas mengangkat ponselnya.
“Yeoboseo?”
Hening. Lelaki itu
menelan ludahnya. Ini sudah waktu yang lama. Lelaki itu sengaja mengaktifkan
nomor lamanya. Berharap suatu hari gadis di seberang sana menghubunginya.
Harapannya terkabul.
“Eun Jae-ah… itukah
kau?” Tanya Kris memastikan. Dada Kris berdegup sangat kencang. Lelaki itu
bahkan kini tak bisa duduk tenang. Ia berdiri mendekati jendela. Berharap-harap
cemas.
“Say something…please.” Pintanya memohon.
Klik.
Seseorang diseberang
sana menutup sambungan telefonnya. Kris menggeram. Ia mencoba menghubungi
kembali nomor itu. Namun entah mengapa seakan nomor itu telah dimatikan secara
tiba-tiba.
Dada Kris bergemuruh
kencang. Ada sesal di hatinya yang tak bisa ia keluarkan. Tertahap dan tertanam
lama sekali. Lelaki itu mengepalkan tangannya dan memukulkannya pada dinding
putih disampingnya.
Kris bisa merasakan
tangannya yang berdenyut nyeri namun ia mengabaikannya begitu saja. Seseorang
yang baru saja menghubunginya membuat dirinya tak bisa jernih berfikir. Ada
yang tak bisa ia kontrol dengan baik dalam dirinya sendiri. Tentang perasaan
maupun tentang dirinya untuk sang penelfon.
Tadi pagi ia seakan
mendengar suara sang penelfon, terdengar jelas. Tapi suara itu bukan menyebut
namanya. Ia menyembut nama seorang yang lain. Seakan tak mau ternggelam, Kris
menepis kemungkinan-kemungkinan yang muncul di dalam bayangannya. Lalu ia hanya
berharap dapat mendengar kembali suara sang penelfon, gadisnya.
Kris menghirup oksigen dalam-dalam
lalu menghembuskannya perlahan. Ia menenangkan dirinya sendiri. Lelaki itu
memejamkan matanya. Menelan harapan pahitnya. Gadis itu tak akan mudah
memaafkannya.
***
LuHan berbaring dengan
gelisah. Jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul satu dan sedari tadi LuHan
hanya berguling-guling diatas tempat tidurnya tanpa bisa memejamkan matanya.
Pikirannya terbagi
entah untuk keberapa. Tentang permohonan Nyonya Kang, pernikahannya, Papa, Kris
dan juga Eun Jae. Bahkan ia tak memikirkan dirinya sendiri.
LuHan membuang nafas
panjang. Lelaki itu menatap langit-langit kamarnya.
Bukankah ini seperti
jalan cerita di mini series? Pernikahan karena berlandaskan perjodohan tentang
dua manusia.
LuHan hanya merasa tak
habis pikir hal semacam itu benar-benar terjadi di dalam hidupnya. Nyonya Kang
menjelaskan bahwa kondisi Papa mulai memburuk lagi dan beliau berkeinginan
melihat putranya menikah. Itu berarti dirinya.
LuHan tertawa sinis.
Bukankah itu seperti cerita-cerita roman picisan
lain tentang perjodohan?. Ia bergerak kesamping. Dilihatnya pintu kamarnya.
Lelaki itu memejamkan matanya lalu seakan menerawang keluar dari kamarnya,
berjalan beberapa langkah darinya dan mendapati satu pintu lain yang tertutup
rapat. Pintu kamar Kang Eun Jae.
Mata LuHan terbuka, bibir
lelaki itu tersenyum simpul, meski masih saja ada rasa kekhawatiran di dalam
dirinya dan LuHan sama sekali tak bisa membohongi itu.
Lelaki itu masih
mengingat kejadian pagi tadi. Dia bahkan bertanya-tanya didalam dirinya.
Pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
Mengapa dirinya sangat
takut jika Eun Jae bertemu dengan Kris?
Ada perasaan tak
terrelakan ketika ia membayangkan Eun Jae bertemu kembali dengan Kris. Hanya
saja….
Mungkin karena LuHan
merasa empati dan mungkin saja mengasihani Eun Jae, tak ingin gadis itu terluka
karena bertemu Kris dan Aurora disaat yang tak terduga seperti itu. Atau
sebenarnya LuHan memiliki alasan lain namun ia sendiri belum menyadarinya?
LuHan menggelengkan
kepalanya. Ia tak ingin terlalu berfikir jauh. Sekarang yang perlu ia pikirkan
dengan baik adalah kesehatan papanya. Keinginan beliau dan juga pernikahan.
Itupun jika Eun Jae menyetujuinya.
***
Pagi ini Eun Jae dan
LuHan duduk berhadapan. Keduanya terlihat sama-sama tak ingin membuka
percakapan. Terasa aneh. Eun Jae merapikan blazer hitamnya dan rok coklat susu
selututnya. Lalu gadis iu terbatuk sedikit.
Sedang di depannya
LuHan makan dengan tenang. Lelaki itu memakai kemeja putih berlengan panjang
yang ia sisingkan hingga kesiku. Ia padukan dengan celana Jins belel
kesukaannya.
“Hm… kau ada waktu
untuk mendengar jawabanku?” Tanya Eun Jae hati-hati.
LuHan meraih segelas
air mineral di sampingnya. “Anytime”
jawabnya setelah meminum beberapa teguk air.
Eun Jae gelisah. Gadis
itu menatap LuHan yang dengan tenang menunggu jawabannya dalam diam.
“Hm…. Lu..”
LuHan tetap terdiam.
Eun Jae membuang nafas
panjang. Merasa sebal pada dirinya sediri.
“Mari kita tidak
menikah”
LuHan tersenyum kecut.
Jawaban seperti ini adalah kemungkinan terburuk yang harus ia terima. Apapun
itu.
(Tbc ?)
Annyeong authornim. FF marry a boy ini bagus bgt!!^^ chapter 6 nya kapan di post ya? Udah penasarn bgt soalnya^^
BalasHapusHai... chingu!! maaf ya baru bales. wah... makasih udah di bilang bagus. tapi aku ada info buruk nie... chapter 6 FF marry a boy lagi ke penjara di notebook. hehehe... notebooknya lagi di servis nggak tahu kapan selesaimya. tapi secepatnya pasti aku post deh. tunggu ya..!! sekali lagi terimakasih dan maaf *Bow
Hapus